Challenge #2 / Cerita Pengalaman Pertama Kali Bertemu Dengan Pasangan
Sebut saja “Ocu”, itu
panggilanku kala itu.
Lelaki yang setiap hari
mondar-mandir di pasar karena belanja bahan-bahan yang akan dimasaknya.
“Lelaki kok belanja! Aneh….”
gumamku waktu itu.
Bagiku, lelaki akan terlihat
gagah saat dia membelikan makanan yang dimakannya beserta kekasihnya atau
temannya. Seperti itulah para gadis melihat lelaki. Setidaknya, aku.
Tapi dia tidak, dia belanja dan
memasaknya sendiri.
“Seperti perempuan saja!”,
begitulah kesan pertamaku terhadapnya. Seorang lelaki yang sering kali ke pasar
untuk belanja bahan masakan untuk makannya. Ditambah lagi, kulitnya yang putih,
menambah keyakinanku bahwa dia bukan lelaki tulen. Hahaha… karena lelaki berkulit gelap, bagiku lebih macho!
Sebenarnya, aku tidak begitu mengenalnya,
hanya mengenal tentangnya dari teman-temanku yang sering berjumpa dan mengobrol
dengannya. Aku bahkan tak berani menyapanya saat dia melemparkan senyuman
dahsyatnya ke arahku, saat aku sedang duduk bersama dengan teman-temanku yang
sedang duduk di depan teras toko di pasar itu.
Saat kami sedang berkumpul di
tempat yang biasa kami sebut pujasera, atau yang biasa dikenal dengan food
court, Ocu datang menghampiri kami dan ikut bergabung bersama kami. Dia
melihat begitu banyak makanan yang tidak kami habiskan dan berkata, “Sesungguhnya
menghambur-hamburkan makanan itu adalah perbuatan syaitan”. Kami semua
tertawa… karena bagi kami, dia begitu sok suci!
“kalau mau, habiskan saja makanan
sisanya!” dalam hatiku yang bahkan tak berani kuucapkan.
“Ada daging yang nyelip digiginya
tuh!” kata Ocu yang tiba-tiba membuatku berhenti menertawakannya.
“Di gigiku?” tanyaku penasaran,
sekaligus tengsin (secara dia negurnya tanpa basa basi gitu! Didepan
teman-temanku)
Tanpa berkata apapun, Ocu kembali
mengeluarkan senjata dahsyatnya, yaaaa senyumannya itu, sambil mendekat padaku
dan menyuruhku membuka mulut…. Dan… mencongkel daging itu keluar dari sela-sela
gigiku.
Dan sejak saat itu, aku mulai
mengajaknya bicara saat berjumpa di pasar.
Ternyata dia orang yang enak
untuk diajak bicara, diajak curhat, diajak diskusi dan dimintai pertolongan.
Bahkan, saat aku sedang bekerja, dan tiba-tiba turun hujan, aku menelponnya
hanya sekedar untuk meminta pertolongannya mengangkat baju-bajuku yag sedang
kujemur.
Dia memang mahluk Allah yang luar
biasa, dia menjadi sahabatku yang kumiliki saat itu.
Bahkan saat almarhumah Mamaku
sedang dirawat di Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) karena terkena serangan
jantung yang mengakibatkan beliau harus diopname kurang lebih sampai dua minggu,
Ocu yang menjaga beliau di RSOB, karena anak gadis mama yang ada di Batam,
semuanya sibuk bekerja, hingga baru bisa menjaga beliau sepulang kerja.
Melihat Ocu begitu telaten
merawat Mama, sampai mereka mengira bahwa Ocu adalah pacarku, padahal yang
sebenarnya, Ocu adalah sahabat terbaikku, bahkan dia rela tidak bekerja karena
mengurusi mamaku di RS.
Suatu malam, aku yang terjaga
saat sedang terlelap tidur di atas selembar tikar yang digelar tepat di bawah ranjang pasien, melihat Mama
sedang ngobrol dengan Ocu, kemudian kudekati mereka, terdengar sayup tapi
sangat jelas ditelingaku Mama berkata, “Nak Ocu, nitip anak Ibu yaaa… nitip
Yanti yaaa… dia memang agak manja karena sejak kecil sering sakit-sakitan,
makanya badannya sekurus itu” aku masih diam menunggu Mama berhenti bicara,
“Jaga Yanti selama hidupmu ya naaak… Ibu percayakan Yanti sama kamu” lanjutnya.
“Iya bu… aku akan jaga Yanti
seumur hidupku” jawab Ocu
Aku pun membiarkan dia mengatakan
itu meski tanpa persetujuanku, karena dalam hatiku, paling-paling nanti kalau
sudah sembuh, Mama akan kupertemukan dengan pacarku, yang memang bukan Ocu,
karena Ocu hanya sahabatku.
Keesokan harinya, setelah kubelikan
Ocu sarapan pagi, aku tanya dia, kenapa jawab gitu ke mama. Dan akupun sedikit
kaget saat dia bilang kalau jawaban itu adalah jawaban dari hatinya yang paling
dalam… dan bahkan dia berencana untuk menelpon keluarganya di kampung, untuk
meminta restunya.
Aku galau!
Karena pacarku belum
kuperkenalkan kepada keluargaku, sementara Mama menginginkan sahabatku yang
menjadi menantunya. Aku tanya kakak-kakakku, mereka setuju dengan permintaan
mama, yang menginginkan aku segera menikah, karena usiaku sudah 26 tahun, yang
sudah didahului adiknya menikah. “Ocu lelaki yang baik, dia bisa menjagamu”
kata kakakku.
Aku kemudian diskusikan hal ini
dengan pacarku, yang tanpa kuduga, dia ternyata sudah mendekati sahabatnya
adikku. Hal itu ku tahu karena adikku sering melihat pacarku menjemput
sahabatnya sepulang kerja.
Pacarku yang kukira pemilik
tulang rusukku itu ternyata menghianatiku. Pantas saja dia tidak ada waktu
untukku, bahkan untuk menjenguk mamaku di RS saja dia tak ada waktu. Spadahal
sudah sekian lama aku menjalin hubungan dengannya, memerhatikan kesehatannya,
bahkan hidupnya. Keinginan untuk menjadi istrinya seketika buyar. Ternyata aku
hanya menjaga lelaki pemilik tulang rusuk orang lain, bukan aku. Ah… memanglah…
dalam keadaan seperti ini, sepertinya aku harus menerima Ocu menjadi suamiku.
“Iya Ma… setelah Mama sembuh,
Yanti mau nikah sama Ocu” ucapku ke Mama, Rabu sore itu. Dan Ocu pun sudah
menelpon keluarganya untuk datang ke Batam hari Sabtu untuk menikahkan kami.
Dan benar, orang tua Ocu pun dari
Pekan Baru sudah tiba di Batam.
Tapi keadaan Mama belum juga
membaik. Aku meminta persetujuan keluarganya, kalau boleh, kami menikah hari
Jum’at… di RS saja, jadi kita bawa penghulunya ke RS, supaya Mama bisa
menyaksikan pernikahan kami. Mereka pun setuju…
Manusia hanya bisa berencana...
tapi Allahlah yang Maha berkehendak.
Inna lillaahi wa inna ilaihi
rooji’un…
Hari Selasa, tanggal 29 April
2003, Allah memanggil Mama, sebelum beliau menyaksikan pernikahan kami.
Kami pun berduka… dan aku
memutuskan untuk tidak melangsungkan pernikahan kami saat itu, paling tidak..
tunggu sampai hatiku mulai tenang dan menerima kepergian Mama.
Pasar Aviari.
Ya… pasar itu menjadi saksi
bertemunya mahluk Allah yang tanpa diduga menjadi pasangan hidupku saat ini.
Lelaki yang menurutku memiliki kebiasaan aneh, tapi memiliki senyuman yang
begitu dahsyat.
Hingga hari ini, sahabatku yang
luar biasa itu benar-benar menepati janjinya kepada almarhumah mamaku, selalu
menjagaku.
Ocu yang dulu jadi sahabatku…
kini juga jadi sahabat anak-anakku.. buah hati kami..
Sahabatku itu… kini jadi pacarku
setelah menikah.
Memang terasa lebih indah pacaran
setelah menikah, lebih romantis… dan halal.
Kalau dipikir-pikir… sebenarnya
pacaran itu hanya membuang-buang waktu. “ngapain jagain dan merhatiin calon
suami orang…” gumamku dalam hati. Jadi lebih baik berpacarannya setelah
menikah, karena sudah jelas dia pasangan halal kita.
Yaa Robb… benarkah sahabatku
itulah pemilik tulang rusukku?
Semoga saja..
Sakinnah till jannah…
Aamiin yaa Robbal ‘alamiin…
Batam, 30 Oktober 2018
#mama_ranacha
#alineaku #kmooktober