Selasa, Oktober 30, 2018

Benarkah sahabatku itu si pemilik tulang rusukku? / Penulis: Sriyanti

Challenge #2 / Cerita Pengalaman Pertama Kali Bertemu Dengan Pasangan

   
Dia bukan lelaki yang sempurna, dia hanya seorang lelaki biasa yang secara kebetulan bertemu di sebuah pasar di daerah Batu Aji, Batam. Parasnya yang tampan menjadikannya lelaki yang banyak dikagumi kaum hawa, bukan hanya para remaja, tapi juga anak-anak dan orang tua, karena selain wajahnya yang rupawan, dia juga seorang penyabar dan selalu memberikan manfaat kepada orang-orang di sekitarnya.
Sebut saja “Ocu”, itu panggilanku kala itu.
Lelaki yang setiap hari mondar-mandir di pasar karena belanja bahan-bahan yang akan dimasaknya.
“Lelaki kok belanja! Aneh….” gumamku waktu itu.

Bagiku, lelaki akan terlihat gagah saat dia membelikan makanan yang dimakannya beserta kekasihnya atau temannya. Seperti itulah para gadis melihat lelaki. Setidaknya, aku.
Tapi dia tidak, dia belanja dan memasaknya sendiri.
“Seperti perempuan saja!”, begitulah kesan pertamaku terhadapnya. Seorang lelaki yang sering kali ke pasar untuk belanja bahan masakan untuk makannya. Ditambah lagi, kulitnya yang putih, menambah keyakinanku bahwa dia bukan lelaki tulen. Hahaha…  karena lelaki berkulit gelap, bagiku lebih macho!

Sebenarnya, aku tidak begitu mengenalnya, hanya mengenal tentangnya dari teman-temanku yang sering berjumpa dan mengobrol dengannya. Aku bahkan tak berani menyapanya saat dia melemparkan senyuman dahsyatnya ke arahku, saat aku sedang duduk bersama dengan teman-temanku yang sedang duduk di depan teras toko di pasar itu.

Saat kami sedang berkumpul di tempat yang biasa kami sebut pujasera, atau yang biasa dikenal dengan food court, Ocu datang menghampiri kami dan ikut bergabung bersama kami. Dia melihat begitu banyak makanan yang tidak kami habiskan dan berkata, “Sesungguhnya menghambur-hamburkan makanan itu adalah perbuatan syaitan”. Kami semua tertawa… karena bagi kami, dia begitu sok suci!
“kalau mau, habiskan saja makanan sisanya!” dalam hatiku yang bahkan tak berani kuucapkan.
“Ada daging yang nyelip digiginya tuh!” kata Ocu yang tiba-tiba membuatku berhenti menertawakannya.
“Di gigiku?” tanyaku penasaran, sekaligus tengsin (secara dia negurnya tanpa basa basi gitu! Didepan teman-temanku)
Tanpa berkata apapun, Ocu kembali mengeluarkan senjata dahsyatnya, yaaaa senyumannya itu, sambil mendekat padaku dan menyuruhku membuka mulut…. Dan… mencongkel daging itu keluar dari sela-sela gigiku.

Aku terdiam… teman-temanku pun terpana… kami semua sama-sama kaget. “Maksudnya apa coba?” mungkin itu yang terlintas di benak kami. Tapi dengan santai dia bilang, “Nanti kalo kamu jadi istriku juga akan terbiasa”. Nah lo! Apaan lagi tuh?!! Yang bener aja, kenal aja enggak, kok bisa pula aku jadi istrinya, batinku berkecamuk dalam diamku. “Sudah malam, ayo kuantar pulang!” tambahnya sambil menarik tanganku untuk beranjak dari dudukku… dan tanpa kusadari, aku sudah berjalan bersamanya menuju arah rumah kosku.

Dan sejak saat itu, aku mulai mengajaknya bicara saat berjumpa di pasar.
Ternyata dia orang yang enak untuk diajak bicara, diajak curhat, diajak diskusi dan dimintai pertolongan. Bahkan, saat aku sedang bekerja, dan tiba-tiba turun hujan, aku menelponnya hanya sekedar untuk meminta pertolongannya mengangkat baju-bajuku yag sedang kujemur.

Dia memang mahluk Allah yang luar biasa, dia menjadi sahabatku yang kumiliki saat itu.
Bahkan saat almarhumah Mamaku sedang dirawat di Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) karena terkena serangan jantung yang mengakibatkan beliau harus diopname kurang lebih sampai dua minggu, Ocu yang menjaga beliau di RSOB, karena anak gadis mama yang ada di Batam, semuanya sibuk bekerja, hingga baru bisa menjaga beliau sepulang kerja.

Melihat Ocu begitu telaten merawat Mama, sampai mereka mengira bahwa Ocu adalah pacarku, padahal yang sebenarnya, Ocu adalah sahabat terbaikku, bahkan dia rela tidak bekerja karena mengurusi mamaku di RS.

Suatu malam, aku yang terjaga saat sedang terlelap tidur di atas selembar tikar yang digelar  tepat di bawah ranjang pasien, melihat Mama sedang ngobrol dengan Ocu, kemudian kudekati mereka, terdengar sayup tapi sangat jelas ditelingaku Mama berkata, “Nak Ocu, nitip anak Ibu yaaa… nitip Yanti yaaa… dia memang agak manja karena sejak kecil sering sakit-sakitan, makanya badannya sekurus itu” aku masih diam menunggu Mama berhenti bicara, “Jaga Yanti selama hidupmu ya naaak… Ibu percayakan Yanti sama kamu” lanjutnya.
“Iya bu… aku akan jaga Yanti seumur hidupku” jawab Ocu

Aku pun membiarkan dia mengatakan itu meski tanpa persetujuanku, karena dalam hatiku, paling-paling nanti kalau sudah sembuh, Mama akan kupertemukan dengan pacarku, yang memang bukan Ocu, karena Ocu hanya sahabatku.
Keesokan harinya, setelah kubelikan Ocu sarapan pagi, aku tanya dia, kenapa jawab gitu ke mama. Dan akupun sedikit kaget saat dia bilang kalau jawaban itu adalah jawaban dari hatinya yang paling dalam… dan bahkan dia berencana untuk menelpon keluarganya di kampung, untuk meminta restunya.

Aku galau!
Karena pacarku belum kuperkenalkan kepada keluargaku, sementara Mama menginginkan sahabatku yang menjadi menantunya. Aku tanya kakak-kakakku, mereka setuju dengan permintaan mama, yang menginginkan aku segera menikah, karena usiaku sudah 26 tahun, yang sudah didahului adiknya menikah. “Ocu lelaki yang baik, dia bisa menjagamu” kata kakakku.
Aku kemudian diskusikan hal ini dengan pacarku, yang tanpa kuduga, dia ternyata sudah mendekati sahabatnya adikku. Hal itu ku tahu karena adikku sering melihat pacarku menjemput sahabatnya sepulang kerja.

Pacarku yang kukira pemilik tulang rusukku itu ternyata menghianatiku. Pantas saja dia tidak ada waktu untukku, bahkan untuk menjenguk mamaku di RS saja dia tak ada waktu. Spadahal sudah sekian lama aku menjalin hubungan dengannya, memerhatikan kesehatannya, bahkan hidupnya. Keinginan untuk menjadi istrinya seketika buyar. Ternyata aku hanya menjaga lelaki pemilik tulang rusuk orang lain, bukan aku. Ah… memanglah… dalam keadaan seperti ini, sepertinya aku harus menerima Ocu menjadi suamiku.

“Iya Ma… setelah Mama sembuh, Yanti mau nikah sama Ocu” ucapku ke Mama, Rabu sore itu. Dan Ocu pun sudah menelpon keluarganya untuk datang ke Batam hari Sabtu untuk menikahkan kami.
Dan benar, orang tua Ocu pun dari Pekan Baru sudah tiba di Batam.
Tapi keadaan Mama belum juga membaik. Aku meminta persetujuan keluarganya, kalau boleh, kami menikah hari Jum’at… di RS saja, jadi kita bawa penghulunya ke RS, supaya Mama bisa menyaksikan pernikahan kami. Mereka pun setuju…

Manusia hanya bisa berencana... tapi Allahlah yang Maha berkehendak.
Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un
Hari Selasa, tanggal 29 April 2003, Allah memanggil Mama, sebelum beliau menyaksikan pernikahan kami.
Kami pun berduka… dan aku memutuskan untuk tidak melangsungkan pernikahan kami saat itu, paling tidak.. tunggu sampai hatiku mulai tenang dan menerima kepergian Mama.

Keluarganya pun setuju dan cincin kawin yang mereka bawa dari kampung, itu disematkan di jari manisku sebagai tanda pengikat antara kami. Yaaa kami bertunangan dulu sampai pada akhir Nopember, yaitu tanggal 30, di tahun 2003, Ocu mengucapkan janji sucinya di depan penghulu dan disaksikan oleh kakakku serta seluruh keluarganya.

Pasar Aviari.
Ya… pasar itu menjadi saksi bertemunya mahluk Allah yang tanpa diduga menjadi pasangan hidupku saat ini. Lelaki yang menurutku memiliki kebiasaan aneh, tapi memiliki senyuman yang begitu dahsyat.
Hingga hari ini, sahabatku yang luar biasa itu benar-benar menepati janjinya kepada almarhumah mamaku, selalu menjagaku.

Disetiap lelahku… disetiap bimbangku… disetiap salahku… disetiap marahku… dia selalu menjadi sahabatku.
Ocu yang dulu jadi sahabatku… kini juga jadi sahabat anak-anakku.. buah hati kami..

Sahabatku itu… kini jadi pacarku setelah menikah.
Memang terasa lebih indah pacaran setelah menikah, lebih romantis… dan halal.
Kalau dipikir-pikir… sebenarnya pacaran itu hanya membuang-buang waktu. “ngapain jagain dan merhatiin calon suami orang…” gumamku dalam hati. Jadi lebih baik berpacarannya setelah menikah, karena sudah jelas dia pasangan halal kita.

Yaa Robb… benarkah sahabatku itulah pemilik tulang rusukku?
Semoga saja..
semoga sahabatku ini, akan selalu menjadi sahabatku yang selalu menjagaku seumur hidupnya.
Semoga rumah tangga kami, tidak hanya bersatu di dunia… tapi juga di syurgaMu di akhirat kelak.
Sakinnah till jannah… Aamiin yaa Robbal ‘alamiin…

Batam, 30 Oktober 2018
#mama_ranacha
#alineaku #kmooktober


Minggu, Oktober 14, 2018

Si Anak Rantau / Penulis: Sriyanti


Challenge #1 / Autobiografi

 
Sriyanti, itulah namaku. 
“Tanpa spasi”, itulah yang selalu kuucapkan setiap kali melakukan registrasi atau pendaftaran apapun termasuk ke petugas dinas kependudukan, karena mereka selalu saja memisahkan namaku saat menulisnya menjadi Sri Yanti
Dan sekarang…. sudah mulai berkurang rasa geram itu… aku sudah mulai merelakan hati ini saat melihat orang lain menuliskan namaku menggunakan spasi. Biasa dipanggil Yanti. Ada juga yang memanggilku dengan panggilan mama ranacha, karena aku adalah mama dari ketiga puteriku yang dipanggil Rara, Nana & Chacha. Ranacha adalah singkatan dari panggilan nama mereka.

Lahir di Tasikmalaya, bertepatan dengan wafatnya nenekku, yaitu tangggal 27 di bulan Nopember tahun 1976. Aku anak ke-6 dari 8 bersaudara yang hanya mempunyai 1 orang kakak laki-laki, karena sisanya adalah perempuan.
Kedua orang tuaku telah meninggal sebelum aku menikah. Papa meninggal sebelum Mama. Dan kini hanya bisa disapa melalui lantunan ayat suci Al-Qur’an dan do’a-do’a yang kupanjatkan kehadirat Illahi Robby agar selalu menerangi dan melapangkan kuburnya serta menempatkan mereka bersama Rasulullah dan orang-orang shaleh di syurga-Nya.

Saat ini Aku tinggal di salah satu pulau industri yang terkenal di Nusantara, Batam, provinsi Kepulauan Riau. Menjadi seorang istri dari seorang lelaki sholeh dan penyabar dari Pekan baru bernama Zulfaini, adalah sebuah anugerah terindah dari Yang Maha Kuasa. Terlebih lagi setelah dikaruniai buat hati oleh sang Khoirur Raziqin yaitu tiga gadis sholeha, pintar dan cantik-cantik, yang sekarang selalu mewarnai rumah tangga kami.

Selain sebagai ibu rumah tangga, aku mendapatkan amanah sebagai pengajar di salah satu SMA swasta di Batam. Berbekal hobiku bermain komputer, aku sangat menyukai tugas tambahanku di sekolah sebagai pembina IT-Club, mendampingi anak-anak yang juga menyukai komputer. Dengan demikian kita bisa sama-sama belajar mengembangkan pengetahuan tentang komputer dan aplikasinya.
 
Aku dibesarkan di berbagai daerah, masa sekolah dasar saja aku gonta-ganti sekolah mulai dari Jawa Barat hingga ke Jawa Tengah dan kembali lagi ke Jawa Barat. Sekolah menengah pertamaku di perbatasan antara Jawa Barat dan Jakarta Timur, kota Bekasi namanya. Hingga sekolah menengah atasku pun sampai dua kali pindah, awal masa SMA kumulai di kota Cikampek dan kutamatkan masa SMA di kota kelahiranku, Tasikmalaya.

Teringat masa kecilku dulu, kelas.III SD, aku dibawa kakakku sekolah di Jawa Tengah, kota Ambarawa. Karena keseharianku terbiasa berbahasa sunda dan disitu berbahasa jawa, otomatis aku harus berbaur dengan teman-teman baruku dengan mencoba belajar bahasa jawa. Merasa diterima sebagai teman mereka, akupun antusias saat mereka mengajariku bahasa jawa sekaligus logatnya, tanpa konfirmasi, langsung aku praktikkan. Saat diminta memperkenalkan diri di depan kelas, dengan sangat percaya diri, aku berbicara, “Assalaamu’alaikum, kulo Yanti pan jenengan wedhus mambu sedoyo”. Sontak semua tertawa terpingkal-pingkal termasuk guruku, dan aku… bengong… diam… terpaku… malu. Tak tahu apa yang terjadi. Hingga guruku mengartikan apa yang kuucapkan… ternyata yang kukira artinya, “Assalaamu’alaikum, saya Yanti, senang bertemu dengan kalian semua”…. Itu sebenernya adalah, “Assalaamu’alaikum, saya Yanti dan kalian kambing semuanya bau,” bisa dibayangkan malu… semalu- malunya… itulah sepenggal episode masa kecilku yang tak terlupakan.

Mungkin karena sejak kecil aku terbiasa berpindah tempat, hingga sekarang pun aku masih di rantau. Jauh dari kampung halamanku yang bahkan tidak bisa pulang kampung setiap tahun, mengingat biaya transportasi yang makin melambung dan makin ramai anggota keluarga kami, makin susah pulang kampung. Hingga kuputuskan untuk tetap bersama suamiku meskipun kami akan selamanya diperantauan. Pepatah mengatakan, “Merantau bukanlah perkara sederhana. Jauh dari orang tua adalah hal yang sangat menyiksa. Namun berbahagialah mereka yang merantau, semakin jauh dari orang tua, hati mereka justru semakin dekat di sisinya”. Begitulah, meskipun diperantauan kita tak perlu risau, karena meskipun kita jauh di mata namun selalu dekat di hati.

Batam, 10 Oktober 2018
*si anak rantau
#alineaku #kmooktober

d'most fav web

Copyright @ 2013 yanti.